Endonesah jangan ngaku Indonesia! Metu wes!

"Dasar Endonesah!"
Sebuah kalimat yang muncul di homepage 'Wajah Buku'ku akhir-akhir ini.
Ya tidak masalah bagiku selama tidak keluar kalimat "Dasar Indonesia!"... menyinggungku juga kalau begitu.
Endonesah? hmm, cukup bagus buat manusia yang sok-sokan nasionalis di negeri ini. Setidaknya bisa untuk mengesampingkan mereka dari kata Indonesia.

Indonesia. Sebuah nama yang diperjuangkan oleh pendahulu kita.
Sebuah nama yang diperjuangkan oleh seorang engineer dulu. Engineer dengan mental Indonesia di dalam dadanya. Tidak seperti engineer sekarang, dimana Indonesia hanya sebatas kata untuk mengangkat martabat mereka. Aku berani bertaruh kalau aku kumpulkan 10 calon engineer di kampusku sendiri dan ku berikan pertanyaan tentang sejarah bahasa Indonesia maka tidak sampai setengah dari mereka yang tahu dan aku yakin tidak dari setengah yang tidak tahu itu malu karena tidak mengetahuinya. Bahkan mungkin beberapa akan berkata "ah bukan urusan kita", "itu mah pelajaran anak sastra", "wajar lah", dan semacamnya.

Sebuah nama yang diperjuangkan oleh pendahulu kita untuk memperjuangkan hak-hak kita. Hak untuk merdeka. Hak untuk hidup bahagia. Perjuangan untuk memperjuangkan kebenaran.
Sekarang?
Masih sama kok. Masih sama-sama berjuang.
Tapi...
Mulai banyak yang salah memperjuangkan hal. Aku tidak yakin lagi kalau yang diperjuangkan adalah kebenaran.
Lantas?
Hmm.. mungkin yang diperjuangkan adalah ego kita.

Beberapa hari terakhir ini ada berita tentang seseorang pengendara motor yang melawan arus lalu lintas di sebuah jalan. Sialnya orang nakal itu tertabrak oleh mobil yang mengikuti arus lalu lintas. Dan tebak siapa yang salah disini? Jelas si pengendara motor. Tapi sayangnya justru si pengendara mobil ikutas sial. Warga sekitar langsung melakukan kegiatan amuk masa mereka terhadap pengendara mobil. Endonesah!

Tidak cuma itu, dulu juga pernah ada berita tentang polisi yang dicaci-maki oleh gerombolan motor yang melawan arah hanya karena alasan "buru-buru, nanti telat kerja". Alasan tersebut bahkan memenangkan mereka daripada kemacetan yang mereka buat. Endonesah!

Bahkan lucunya sekarang Indonesia masuk sebuah web yang isinya banyak gambar karena hal internet lelet, pak menteri memblokir halaman-halaman yang mengandung konten dewasa (baca : porno), dan sebuah postingan di sebuah situ yang jelas-jelas disclaimernya adalah hanya candaan dan tidak benar.
Endonesah!

Bahkan pernah suatu hari teman membuat status di Buku Wajah "Indonesia masuk salah satu negara dengan internet terlambat di dunia.". Lantas berikut komentar dibawahnya :
Me : "Emg kalau cepet mau dipake buat apa?"
X : "Buat download lah, biar ga lemot"
Me : "Mayoritas dipake buat download apa? Download software bajakan? Film Bajakan? Download gambar tapi ga disave (buka halaman dengan gambar banyak) buat hiburan? :-)"
Dan komentar terakhir saya itu tidak mendapatkan balasan :-v
Saya menggunakan koneksi modem saja masih lancar kok untuk bermain game internasional. Koneksi umum? lancar kok buat upload tugas.... selama tidak ada para endonesah yang mengambil bandwith dengan menggunakan IDM (udah ngebajak, bikin susah orang pula!)

Pliss deh. Ini negara Indonesia. Negara kami.
Buat kalian para endonesah mending bikin negara sendiri aja kalau masih seperti ini.
Bikin negara baru dengan nama Endonesah dimana isinya yang salah yang berkuasa, internet tanpa konten dewasa maka diblokir, dan apapun yang kalian inginkan lah.

--------------------------------------------------------------
Ditulis di Kamar Kos Nomor 3
Sesaat setelah muak dengan komentar-komentar tanpa ngaca

Pembodohan Penyempitan Berfikir

"Pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran yang memiliki dimensi-dimensi sesuai tahapan pembelajarannya, dari yang tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, tidak mampu menjadi mampu yang disapat dari kontak pengindraan ataupun pengalaman."

Ya setidaknya itu lah definisi pengetahuan yang kupahami dengan menggunakan kacamata "Revisi Taksonomi Bloom" dan juga "Pengalaman".
Secara filsafat dan sosiologi, syarat agar pengetahuan dapat berkembang tanpa terbelengu dengan sempitnya pandangan pemikiran kita maka jangan terikat dengan penemu teorinya, melainkan lupakan dan compare dengan yang lain dan bebaskan pemikiran yang ada.

Begitu pula dengan bahasa indonesia. Coba pikirkan, lapar dan kenyang adalah berlainan kata. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bahwa arti kata dari lapar adalah ingin makan, sedangkan kenyang adalah kenyang. Seandainya kita berfikir bahwa menurut arti kata diatas, lapar dan kenyang itu relatif, masih sesuatu yang abstrak.
Sedangkan menurut ilmu pengetahuan, definisi dari lapar adalah saat kadar gula dalam tubuh menurun. Sedang definisi lapar atau ‘hunger’ menurut Carol Ann Rinzler dalam bukunya Nutrition For Dummies adalah kondisi saat kita MEMBUTUHKAN makanan. Rasa lapar terjadi dari serangkaian mekanismu tubuh, saat tubuh kita kekurangan energi. Jelas-jelas membutuhkan dan ingin ada sesuatu yang berbeda. Lantas kenapa di kamus berbeda?
Hal ini terjadi lantaran untuk mempermudah pemahaman anak kecil. Namun tanpa kita sadari bahwa hal tersebut justu membuat pikiran kita sempit.

Anarkis!
Apa yang ada dipikiran kita saat mendengar kata tersebut? Mayoritas memahami bahwa anarkis adalah berbau kerusuhan. Apalagi untuk para pejuang yang turun ke jalan (Read: Demo).
*alasan kenapa menggunakan kata demo adalah sebab saya percaya bahwa mereka yg menyebut aksi lebih mengerti ttg definisi anarkis*
Sebenernya definisi dari anarkis adalah sikap menolak pemerintahan/kekuasaan, namun berbeda dengan kerusuhan dan kerusakan. Anarkis adalah paham yang menjunjungg tinggi kebebasan.
Tapi apa yang mayoritas bangsa ini pahami?
Penyempitan pemikiran yang sudah ditanamkan kepada kita sejak kecil menyebabkan kita tidak bebas untuk berfikir tentang esensi hidup ini secara luas. Terbelenggu oleh rantai-rantai pembelajaran praktis.

Hidup ini tidak bisa hanya sekedar kita menerima sesuatu yang sudah dianggap benar. Pernahkah kita berfikir bahwa kenapa A disebut A? Pernahkah kita mempertanyakannya? Atau kita sudah menganggapnya benar karena takut ditertawakan ketika bertanya?